hasbunallah

hasbunallah

Thursday, April 19, 2018

Said Bin Amir al-Jumahi


“Said bin Amir, seorang laki-laki yang membeli akhirat dengan dunia dan mementingkan Allah dan Rasul-Nya di atas selain keduanya.” (Ahli Sejarah)

Anak muda ini, Said bin Amir, adalah satu dari ribuan orang yang keluar ke daerah Tan’im di luar Mekah atas undangan para pemuka Quraisy untuk menyakikan pelaksanaan hukum mati atas khubaib bin Adi, salah seorang sahabat Muhammad setelah mereka menangkapnya dengan cara licik.

Sebagai pemuda yang kuat dan tangguh, Said mampu bersaing dengan orang-orang yang lebih tua umurnya untuk berebut tempat di depan, sehingga dia mampu duduk sejajar di antara para pemuka Quraisy seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah, dan lain-lainya yang menyelenggarakan acara tersebut.

Semua ini membuka jalan baginya untuk menyaksikan tawanan Quraisy yang terikat dengan tambang itu. Sementara tangan anak-anak, para pemuda, dan kaum wanita mendorongnya ke pelataran kematian dengan kuatnya, mereka ingin melampiaskan dendam kesumat terhadap Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, membalas kematian orang-orang mereka yang terbunuh di Badar dengan membunuh Khubaib.

Manakala rombongan besar dengan seorang tawanan tersebut telah tiba di tempat yang sudah disiapkan untuk membunuhnya, si anak muda Said bin Amir al-Jumahi berdiri tegak memandang Khubaib yang sedang digiring ke tiang salib. Said mendengar suara Khubaib di antara teriakan kaum wanita dan anak-anak, dia mendengarnya berkata, “Bila kalian berkenan membiarkanku shalat dua rakaat sebelum aku kalian bunuh?”

Said melihat Khubaib menghadap kiblat, shalat dua rakaat, dua rakaat yang sangat baik dan sangat sempurna.

Said melihat Khubaib menghadap para pembesar Quraisy dan berkata, “Demi Allah, kalau aku tidak khawatir kalian menyangka bahwa aku memperlama shalat karena takut mati, niscaya aku akan memperlama shalatku.”

Kemudian Said melihat kaumnya dengan kedua mata kepalanya mencincang jasad Khubaib sepotong demi sepotong padahal Khubaib masih hidup, sambil berkata, “Apakah kamu ingin Muhammad ada di tempatmu ini sedangkan kamu selamat?[1]

Khubaib menjawab sementara darah menetes dari jasadnya, “Demi Allah, aku tidak ingin berada di antara keluarga dan anak-anakku dalam keadaan aman dan tenang sementara Muhammad tertusuk oleh sebuah duri.”

Maka orang banyak pun mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi ke udara, teriakan mereka gegap gempita menggema di langit.

Di saat itu Said bin Amir melihat Khubaib mengangkat pandangannya ke langit dari atas tiang salib dan berkata, “Ya Allah, balaslah mereka satu persatu, bunuhlah mereka sampai habis, dan jangan biarkan seorang pun dari mereka hidup dengan aman.”

Akhirnya Khubaib pun menghembuskan nafas terakhirnya, dan tidak ada seorang pun yang mampu melindunginya dari tebasan pedang dan tusukan tombak orang-orang kafir.

Orang-orang Quraisy kembali ke Mekah, mereka melupakan Khubaib dan kematiannya bersama dengan datangya peristiwa demi peristiwa besar yang mereka hadapi.

Namun tidak dengan anak muda yang baru tumbuh ini, Said bin Amir, Khubaib tidak pernah terbenam dari benaknya sesaat pun. Said melihatnya dalam mimpinya ketika dia tidur, membayangkannya dalam khayalannya ketika dia terjaga, berdiri di depannya ketika dia shalat dua rakaat dengan tenang dan tenteram di depan kayu salib, Said mendengar bisikan suaranya di keua telinganya ketika dia berdoa atas orang-orang Quraisy, maka dia khawatir sebuah halilintar akan menyambar atau sebuah batu dari langit akan jatuh menimpanya.

Peristiwa kematian Khubaib mengajarkan sesuatu kepada Said tentang persoalan besar yang belum dia ketahui selama ini. Peristiwa kematian Khubaib mengajarkan kepadanya bahwa kehidupan sejati adalah jihad di jalan akidah yang diyakininya sampai mati. Peristiwa kematian Khubaib mengajarkan kepadanya bahwa iman yang terpancang kuat bisa melahirkan dan menciptakan keajaiban-keajaiban.

Khubaib mengajarkan kepadanya perkara lainnya, yaitu seorang laki-laki yang dicintai sedemikian rupa oleh para sahabatnya adalah seorang nabi yang di dukung oleh kekuatan dan pertolongan langit.

Pada saat itu Allah Ta’ala membuka dada Said bin Amir kepada Islam, maka dia berdiri di hadapan sekumpulan orang banyak, mengumumkan bahwa dirinya berlepas diri dari dosa-dosa dan kejahatan-kejahatan orang Quraisy, menanggalkan berhala-berhala dan patung-patung menyatakan diri sebagai seorang muslim.

Said bin Amir al-Jumahi berhijrah ke Madinah tinggal bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ikut bersama beliau dalam perang khaibar dan peperangan lain sesudahnya.

Manakala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia dipanggil menghadap keharibaan Rabbbnya alam keadaan ridha, Said bin Amir tetap menjadi sebilah pedang yang terhunus di tangan para khalifah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar. Said bin Amir hidup sebagai contoh menawan lagi mengagumkan bagi setiap mukmin yang telah membeli akhirat dengan dunia, mementingkan ridha Allah dan pahalaNya di atas segala keinginan jiwa dan hawa nafsu.

Dua orang khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenal kejujuran Said dan ketakwaannya, keduanya mendengar nasihatnya dan mencamkan kata-katanya. Said datang kepada Umar bin al-Khatthab di awal khilafahnya, dia berkata, “Wahai Umar, aku berpesan kepadamu agar kamu bertakwa kepada Allah dalam bermuamalah dengan manusiadan jangan takut kepada manusia dengan melakukan kemaksiatan kepada Allah. Janganlah kata-katamu menyelisihi perbuatanmu, karena kata-kata yang baik adalah yang dibenarkan oleh perbuatan. Wahai Umar, perhatikanlah orang-orang yang Allah Ta’ala telah menyerahkan perkara mereka kepadamu, baik mereka dari kalangan kaum muslimin yang dekat maupun yang jauh, cintailah sesuatu yang bermanfaat untuk dirimu dan keluargamu, bencilah sesuatu yang mereka alami, yang kamu pun benci apabila hal itu terjadi kepada dirimu dan keluargamu, hadapilah kesulitan-kesulitan untuk menuju pada kebenaran dan jangan takut celaan orang-orang yang mencela ketika engkau berbuat ketaatan kepada Allah.”

Maka Umar menjawab, “Siapa yang mampu melakukannya wahai Said?”

Said berkata, “Hal itu bisa dilakukan oleh orang-orang sepertimu yang Allah Ta’ala serahi perkara umat Muhammad dan di antara dia dengan Allah tidak terdapat seorang pun.”

Pada saat itu Umar mengundang Said untuk mendukungnya, Umar berkata, “Wahai Said, aku menyerahkan kota Himsh kepadamu.” 

Maka Said menjawab, “Wahai Umar, dengan nama Allah aku memohon kepadamu agar mencoret namaku.”

Maka Umar marah, dia berkata, “Celaka kalian, kalian meletakkan perkara ini di pundakku kemudian kalian berlari dariku. Demi Allah, aku tidak akan membiarkanmu.”

Umar mengangkat Said sebagai gubernur Himsh, Umar bertanya kepadanya, “Aku akan mentapkan gaji untukmu.”

Said menjawab, “Apa yang aku lakukan dengan gaji itu wahai Amirul Mukminin? Pemberian dari baitul maal kepadaku melebihi kebutuhanku.” Said pun berangkat ke Himsh menunaikan tugasnya.

Tidak lama berselang, Amirul Mukminin Umar bin Khatthab didatangi oleh orang-orang yang bisa dipercaya dari penduduk Himsh, Umar berkata kepada mereka, “Tulislah nama penduduk miskin dari Himsh agar aku bisa membantu mereka.”

Mereka menulis dalam sebuah lembaran, di dalamnya tercantum nama fulan dan fulan serta Said bin Amir.

Umar bertanya, “Siapa Said bin Amir?”

Mereka menjawab, “Gubernur kami.”

Umar menegaskan, “Gubernur kalian miskin?”

Mereka menjawab, “Benar di rumahnya tidak pernah dinyalakan api dalam waktu yang cukup lama.”

Maka Umar menangis hingga air matanya membasahi janggutnya, kemudia dia mengambil seribu dinar dan memasukkannya ke dalam sebuah kantong. Umar berkata, “Sampaikan salamku kepadanya dan katakana kepadanya bahwa Amirul Mukminin mengirimkan harta ini agar kamu bisa menggunakannya untuk memenuhi kebutuhanmu.”

Delegasi pun pulang dan mendatangi rumah Said dengan menyerahkan kantong dari Umar bin Khatthab. Said melihatnya dan ternyata isinya adalah dinar, maka dia menyingkirkannya seraya berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Seolah-olah Said sedang ditimpa musibah besar atau perkara berat.

Istrinya datang tergopoh-gopoh dengan penuh kecemasan, dia berkata, “Apa yang terjadi wahai Said? Apakah Amirul Mukimin wafat?”

Said menjawab, “Lebih besar dari itu.”

Istrinya bertanya, “Aa yang lebih besar ?”

Said menjawab, “Dunia datang kepadaku untuk merusak akhiratku, sebuat fitnah telah menerpa rumahku.”

Istrinya berkata, “Engkau harus berlepas diri darinya,” Dia belum mengerti apa pun terkait dengan perkara dinar tersebut.

Said bertanya, “Kamu bersedia membantuku?”

Istrinya menjawab, “Ya”

Maka Said mengambil dinar itu, memasukkannya ke dalam kantong-kantong dan membagi-baginya kepada kaum muslimin yang miskin.

Tidak berselang lama setelah itu, Umar bin al-Khatthab datang ke negeri Syam untuk mengetahui keadaannya. Ketika Umar tiba di Himsh, kota ini juga dikenal dengan Kuwaifah, bentuk kecil dari Kufah, kota Himsh disamakan dengan Kufah karena banyaknya keluhan penduduknya terhadap para gubernurnya seperti yang dilakukan oleh orang-orang Kufah, ketika Umar tiba di sana, orang-orang Himsh bertemu dengan Umar untuk memberi salam kepadanya. Umar bertanya, “Bagaimana dengan gubernur kalian?”

Maka mereka mengadukannya dan menyebutkan empat hal dari sikapnya, yang satu lebih besar daripada yang lain.

Umar berkata, “Maka aku mengumpulkan mereka dengan pribadi Sa’id sebagai gubernur mereka dalam sebuah majelis, aku memohon kepada Allah agar dugaanku kepadanya selama ini tidak salah, aku sangat percaya kepadanya. Ketika mereka dengan gubernur mereka berada di hadapanku, aku berkata, “Apa keluhan kalian terhadap gubernur kalian?”

Mereka menjawab, “Dia tidak keluar kepada kami kecuali ketika siang sudah naik.”

Aku berkata, “Apa jawabanmu wahai Said?”

Said diam sesaat kemudian berkata, “Demi Allah, aku sebenarnya tidak suka mengatakan hal ini, akan tetapi memang harus dikatakan. Keluargaku tidak mempunyai pembantu. Setiap pagi aku menyiapkan adonan mereka, kemudian aku menunggunya beberapa saat sampai ia mengembang, kemudian aku membuat roti untuk mereka, kemudian aku berwudhu dan keluar untuk masyarakat.”

Umar berkata, aku pun berkata kepada mereka, “Apa yang kalian keluhkan darinya juga?”

Mereka menjawab, “Dia tidak menerima seorang pun di malam hari.”

Said berkata, “Demi Allah, aku juga malu mengatakan hal ini. Aku telah memberikan siang bagi mereka, sedangkan malam maka aku memberikannya kepada Allah Ta’ala.

Aku bertanya, “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”

Mereka menjawab, “Dia tidak keluar menemui kami satu hari dalam sebulan.”
Aku bertanya, “Bagaimana penjelasanmu wahai Said?”

Said menjawab, “Aku tidak mempunyai pembantu wahai Amirul Mukminin, aku pun tidak mempunyai pakaian selain yang melekat di tubuhku ini. Aku mencucinya sekali dalam sebulan, dan menunggu sampai kering, baru kemudian aku keluar di sore hari.”

Kemudian aku bertanya, “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”

Mereka menjawab, “Terkadang ia jatuh pingsan sehingga tidak ingat terhadap orang-orang di sekitarnya.”

Aku bertanya, “Bagaimana penjelasanmu wahai Said?”

Said menjawab, “Aku menyaksikan kematian Khubaib bin Adi ketika aku masih musyrik, aku melihat orang-orang Quraisy mencincang jasadnya sambil berkata kepadanya, ‘Apakah kamu ingin Muhammad ada di tempatmu ini?’ Lalu dia menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak ingin berada di antara keluarga dan anak-anakku dalam keadaan tenang sedangkan Muhammad tertusuk oleh sebuah duri.’ Demi Allah setiap aku teringat hari itu, yakni ketika aku membiarkannya dan tidak menolongnya sehingga aku senantiasa dikejar ketakutan bahwa Allah tidak akan mengampuniku, maka aku pun pingsan.”

Saat itu Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang membenarkan dugaanku kepadamu.”

Kemudian Umar memberinya seribu dinar agar dia gunakan untuk memenuhi kebutuhannya.

Istrinya melihatnya, dia pun berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah mencukupkan kami dari pelayananmu, belilah kebutuhan kami dan ambillah seorang pelayan.”

Said berkata kepadanya, “Apakah kamu mau aku tunjukkan kepada yang lebih baik dari itu? Istrinya balik bertanya, “Apa itu?”

Said berkata, “Kita memberikan harta tersebut kepada yang memberikannya kepada kita, kita lebih memerlukan hal (amalan) itu.”

Istrinya bertanya, “Apa maksudmu?”

Said menjawab, “Kita berikan kepada Allah dengan cara yang baik.”

Istrinya berkata, “Setuju dan semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”

Said tidak meninggalkan majelisnya hingga dia membagi dinar tersebut di beberapa kantong, lalu dia berkata kepada salah seorang anggota keluarganya, 

“Berikanlah ini kepada janda fulan, berikanlah ini kepada anak-anak yatim fulan, berikanlah ini kepada keluarga fulan, berikanlah ini kepada orang-orang miskin dari keluarga fulan.”

Semoga Allah meridhai Said bin Amir al-Jumahi, dia termasuk orang-orang yang mementingkan saudaranya sekalipun dia sendiri memerlukan.[2]

Diketik ulang oleh Abu Abdillah Ridwansyah As-Slemani
Artikel www.KisahMuslim.com

[1] Ada yang berkata bahwa pertanyaan ini diarahkan kepada Zaid bin ad-Ditsinnah. Lihat Syarh al-Mawahib karya Allamah az-Zarqani, (II/72) dan Syarh Bahjah al-Mahafil wa Bughyah al-Amatsil, (I/220).
[2] Untuk menambah wawasan tentang Said bin Amir al-Jumahi silahkan merujuk:
Tahdzib at-Tahdzib, (IV/51); Ibnu Asakir, (VI/145-147); Shifah ash-Shafwah, (I/273); Hilyah al-Auliya’, (I/244); Tarikh al-Islam, (II/35); Al-Ishabah, (II/48) atau (at-Tarjamah), 327; Nasab Quraisy, (399).



Read more http://kisahmuslim.com/2768-said-bin-amir-al-jumahi.html